Indonesia terdiri dari beragam kebudayaan yang unik baik seni, bahasa, adat istiadat dan lainnya. Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu yang saya gunakan sehari-hari pun memiliki keunikan tersendiri dan rasanya tak pernah habis untuk dikupas.
Sunda Buhun
Penggunaan bahasa Sunda tercatat pertama kali pada sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Ciamis pada abad ke-14. Meski ada pendapat yang tertuang dalam buku Versvreide Geschriften Inschripties van den Indichen Archipel Ker, 1917) yang menyatakan budaya tulis menulis sudah diakui keberadaannya di abad ke-5, pada masa Tarumanagara.
Banyak sekali versi yang menyatakan sejarah bahasa Sunda. Salah satu versi menyatakan bahasa Sunda dibagi menjadi tiga periode penggunaan yaitu Sunda Kuno atau yang biasa disebut Sunda Buhun, Sunda Klasik dan Sunda Modern.
Sunda Buhun
Bahasa Sunda kuno atau Sunda Buhun yang digunakan pada naskah-naskah ada abad ke-15 hingga abad ke-18. Naskah kuno ini ditulis pada lembaran daun lontar, enau, kelapa atau nipah.
Naskah kuno inilah yang memperkenalkan sastra lisan seperti kawih (puisi bebas), pantun narasi panjang yang bercerita tentang kisah kerajaan, sisindiran (berbalas pantun), cerita wayang dan mantra. Sastra lisan ini dipergunakan sebagai hiburan dan ritual tertentu (mantra).
Bahasa Sunda klasik merupakan bahasa Sunda peralihan yang telah dipengaruhi bahasa asing seperti bahasa Arab karena adanya pertukaran budaya. Pengaruh asing mempengaruhi pula jenis sastra lisan Sunda seperti munculnya pupujian (doa atau nasihat) dan dangding (puisi berirama).
Bahasa Sunda Modern atau disebut bahasa Sunda Kiwari merupakan bahasa Sunda yang digunakan saat ini. Seperti halnya bahasa lain, bahasa Sunda mengalami perubahan tatanan karena adanya pengaruh globalisasi. Di era ini terbit buku berbahasa Sunda, Kitab Pangadjaran Basa Soenda di tahun 1850.
Huruf F
Bila teman Menong berasal dari suku Sunda atau memiliki teman berdarah Sunda pastinya sering memperhatikan mengapa orang Sunda susah mengucapkan huruf 'F'. Kekurangan ini menjadi celah keterbatasan fonologis yang melekat pada urang Sunda dan kerap menjadi jokes bagi suku lain. Jadi, sebetulnya celah ini akan muncul bila suku Sunda berinteraksi dengan suku lain.
Anekdot ini banyak sekali dibahas di media sosial ataupun tayangan TV. Anekdot yang sudah sangat dikenal bahwasanya urang sunda tidak bisa mengucapkan huruf ‘F’, padahal sebetulnya itu hanyalah ‘Pitnah’ belaka.
A : Nama saya Peri (maksudnya Feri)
B : Nulis namanya pakai P, F atau V?
A : Pake ‘ep’…’ep panta’.” (maksudnya tentu saja salah satu merek minuman karbonasi terkenal)
Dalam keseharian urang Sunda memang sulit saat melafalkan konsonan “F, V, Z, Q, X, Kh, Sy”. Termasuk saat membaca Al Quran yang pastinya banyak sekali kata dengan huruf-huruf sulit tersebut.
Namun, bahasa Sunda kaya akan kata dengan huruf 'P' seperti peuyeum (tape), peda (nama ikan asin), ngarayap (merangkak) dan lainnya.
Mengapa demikian ya?
Pertama dalam aksara sunda kuno, ketujuh huruf konsonan tersebut tidak dikenal dalam 25 huruf Ngalagena. Ngalagena sendiri merupakan huruf yang melambangkan konsonan yang mengandung bunyi vokal /a/ berjumlah 25 huruf (Ada juga yang menyatakan 18 huruf).
Kedua, urang sunda terbiasa menyederhanakan atau memudahkan sesuatu termasuk saat melafalkan nama atau kata. Tak heran dalam keseharian Sunda nama Zaenal akan diucapkan menjadi Jenal, Syarif menjadi Sarip, Evi menjadi Epi, Saefulloh menjadi Uloh dan lainnya. Keunikan bahasa Sunda menjadikan nusantara kaya akan budaya.
Singkatan
Selain nama, urang sunda juga terbiasa menyingkat kata-kata baku seperti Bandung – Banung, sendal – senal, endog (telur) – enog.
Dan tak heran, singkatan ini berlaku juga untuk istilah sehari-hari seperti ‘aliran’ sebutan untuk ‘mati aliran listrik’ atau ‘sarap’ untuk menunjukan ketidakwarasan (asal dari syaraf).
Teman Menong pasti familiar dengan kuliner khas Sunda seperti cilok – aci dicolok, cireng – aci digoreng, basreng – bakso digoreng, cilor – aci telor, cuanki – cari uang sambil jalan kaki, comro – oncom dijero (didalam) dan lainnya. Belum lagi plesetan nama daerah 'Antapani' Antara Cinta Tapi Teu Wani (Berani) atau 'Cihanjuang' (Cinta Itu Harus Berjuang).
Namun dengan adanya pembiasaan, banyak urang sunda yang fasih mengucapkan konsonan tadi. Salah satu triks yang sering saya pakai agar tak salah lagi saat mengucapkan huruf ‘F’ adalah dengan mengucapkan kata berhuruf ‘F’ dengan perlahan.
Namun bagi saya sendiri tak jarang pengucapannya masih terbolak balik semisal Fulfen atau fintu. Pokoknya tetap fower pull😁
Yang saya rasakan saat ini, bahasa Sunda mulai ditinggalkan terutama oleh generasi muda. Rasanya sangat jarang saya mendengar generasi Z bertutur menggunakan bahasa Sunda lengkap dengan undak usuk basa nya (sistem penggunaan bahasa sunda yang dibedakan berdasarkan status sosial, usia dan kedudukan).
Ponakan-ponakan saya lebih banyak diajarkan untuk bertutur dalam bahasa Indonesia. Saya sendiri mengakui sudah jarang menggunakan undak usuk basa dalam berkomunikasi dengan keluarga, khususnya Ibunda, meski juga tak menggunakan bahasa teman sebaya apalagi kasar.
Alhamdulillah, di lingkungan saya bekerja, kami masih sering bertutu menggunakan bahasa Sunda. Inilah kesempatan saya untuk belajar lagi menggunakan basa Sunda yang baik dan benar. Bila buka kita, maka siapa lagi yang akan melestarikan bahasa daerah sebagai salah satu kekayaan nusantara.
Post a Comment
Post a Comment