Keragaman Budaya Sulawesi Selatan

Post a Comment
keragaman budaya sulawesi selatan
Teman Menong yang senang melakukan traveling biasanya akan mencari pula budaya di tempat setempat. Bagi teman Menong yang ngabolang di Sulawesi Selatan pastinya telah mengenal keberagaman budaya Sulawesi Selatan.

Sulawesi Selatan

Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi di Pulau Sulawesi dengan ibukota provinsi Makassar atau yang dahulu dikenal dengan sebutan Ujung Pandang. Nama ‘Ujung Pandang’ sendiri merupakan nama sebuah benteng yang dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa, Tunipangga. Nama ini kemudian ditasbihkan menjadi nama ibukota provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 1971 namun dikembalikan kembali menjadi Makassar atas permintaan masyarakat pada tahun 1999.

‘Makassar’ memiliki arti ‘mangkasarak’, bersifat terbuka. Nama Makassar sudah tercatat sejak lama dan  dikenal sebagai pusat perdagangan, pintu gerbang menuju Kepulauan Maluku yang kaya dengan rempah-rempah. 
sulawesi selatan
Seperti halnya banyak wilayah di nusantara, terdapat banyak kerajaan di Sulawesi Selatan namun ada dua kerajaan yanng memegang peranan penting yaitu kerajaan Gowa di dekat Makassar dan Kerajaan Bugis di Kabupaten Bone. Jejak kerajaan Gowa dapat teman Menong lihat di Museum Balla Lompoa, Gowa, tak jauh dari kota Makassar. 
balla lompoa sulawesi selatan
Kejayaan Sulawesi Selatan dapat dilihat dari berbagai peninggalan bersejarah seperti benteng Fort Rotterdam di Makasar dan Benteng Somba Opu di Gowa. Teman Menong dapat merasakan kemegahan benteng ini saat jaman penjajahan Belanda. 
Museum La Galigo Makassar
Saya juga sempat ziarah ke makam Pangeran Diponegoro di yang berada di tengah kota Makassar. Saya seolah merasakan gigihnya perjuangan Pangeran Diponegoro yang meski ahir dan berjuang di Yogyakarta namun mesti menghabiskan sisa masa hidupnya jauh dari tanah kelahirannya karena diasingkan penjajah.

Inilah momen yang membuat saya semakin menyadari besarnya pengorbanan para pejuang kita. Di balik pagar, kami hanya bisa melihat nisan yang terawat dengan baik sebagai bentuk penghargaan.

Bahasa 

Sulawesi Selatan banyak didiami suku Bugis dan Makassar yang dikenal dengan banyak memiliki tradisi dan budaya yang masih dipegang erat hingga kini. Saat berinteraksi pertama dengan masyarakat Sulawesi Selatan, saya dibingungkan dengan kata ‘kita’ yang kerap diungkapkan rekan kerja kami yang berasal dari Sulawesi Selatan. “Dari mana asal kita?’, atau “Kapan kita datang dari Bandung?”

Awalnya saya bingung dengan kalimat itu sembari membatin, mengapa bertanya kepada saya asal rekan saya itu padahal kan saya tidak tahu beliau berasal dari kota mana. Setelah lama barulah saya menyadari bila ‘kita’ dalam bahasa Sulawesi Selatan berarti ‘Anda’ alias bermakna sopan sekali.

Kata lain yang sering diutarakan adalah ‘tabe’ yang berarti ‘maaf’. Budaya tabe sendiri merupakan sikap saling menghargai yang berarti menjunjung sikap sopan santun. Kata ‘tabe’ berasal dari kata ‘ksatavya’, bahasa Sansekerta yang berarti ‘maaf’. Kata ‘tabe’ ini sering digunakan dalam pembuka kata.

"Tabe,bolehkah saya bertanya?"

Penerapan budaya tabe sering digunakan bila kita berjalan melewati orang lain, kita akan memberikan gesture membungkukkan badan dengan posisi tangan kanan turun ke bawah mengarah ke tanah sebagai bentuk permohonan maaf atau penghormatan agar orang lain tidak terganggu. 

Sepertinya gerakan ini sama dengan yang dilakukan di tanah Sunda namun dengan ucapan ‘punteeeen’ yang berarti permisi.

Kata berikutnya adalah ‘ji’, ‘ki’, atau ‘mi’ yang sering diselipkan dalam berbagai kalimat termasuk dalam iklan resmi yang terpampang di jalan. Saya sendiri terheran-heran dengan kalimat ini dan saat bertanya, rekan saya menjawab tidak ada arti yang pasti dari kata-kata tersebut. Dalam bahasa Sunda, mungkin setara dengan ‘atuh’, ‘mah’ atau ‘da’.
bahasa bugis
Dalam keseharian, rekan saya juga sering berkata ‘iya,mi’, ‘apa kabarji?’ atau ‘makanki’. Betapa indah dan uniknya budaya Indonesia ya😘

Uang Panai

Teman Menong mungkin sering mendengar mengenai uang panai atau uang panaik ini. Uang panai merupakan tradisi suku Bugis – Makassar sebagai syarat adat melangsungkan suatu pernikahan.. Uang panai dapat diartikan sebagai harta benda yang diberikan pihak pengantin pria kepada pihak pengantin wanita.

Sejatinya uang panai merupakan lambang kegigihan calon mempelai pria saat akan mempersunting wanita Bugis – Makassar. Besaran uang panai ditentukan kedua belah pihak.
Uang panai kerap menjadi pembicaraan karena nominalnya yang (terkadang) fantastis karena nilainya bergantung pada status sosial seperti trah keturunan (bangsawan atau bukan), pendidikan (semakin tinggi pendidikan semakin tinggi uang panai), pekerjaan dan kecantikan calon mempelai wanita.
uang mahar
Ilustrasi

Hal positif dari uang panai adalah kesungguhan calon mempelai pria akan teruji. Pengorbanan dan kerja keras akan terlihat demi menikahi calon istrinya. Namun budaya ini juga memberikan sisi negatif karena tingginya uang panai akan menjadi kendala bagi pasangan yang tak bisa menjangkau uang panai yang dimintakan sehingga memilih untuk silariang atau kawin lari, yang akan menjadi aib bagi keluarga.

Inilah yang terjadi pada salah satu teman saya, seorang gadis Bugis yang masih sendiri hingga usianya mencapai 40 tahun. Teman saya ini merantau ke Bandung sejak awal kuliah dan menjalin kasih dengan seorang pria (suku Sunda) yang berstatus duda dan memiliki anak satu. 

Tingginya permintaan uang panai membuat teman saya mengurungkan niatnya untuk menikah. Alhamdulillah, kabar terakhir teman saya ini sudah kembali ke tanah kelahirannya dan menikah dengan seseorang yang dikenalkan keluarganya.

Keragaman budaya Sulawesi Selatan membuat saya kagum dan bangga akan tingginya kekayaan nusantara, tidak hanya dari alamnya namun juga dari budaya dan adat istiadatnya.
Newest Older

Related Posts

Post a Comment