Salah satu tantangan saat merantau adalah biaya sewa rumah karena sebagai pegawai pemula rasanya sulit untuk langsung membeli rumah sendiri. Rumah gadai menjadi salah satu solusi yang nampaknya mudah saat itu.
Cianjur
Cianjur menjadi tempat yang Allah takdirkan bagi saya untuk menjemput rezeki-Nya. Saat pertama kali datang untuk mengikuti tes penerimaan pegawai, saya masih 'menumpang' di rumah bibi saya hingga saya akhirnya memutuskan untuk tinggal terpisah sebagai anak kost.
Mulai lah drama sebagai anak kost dimulai. Saya belum pernah kost seumur hidup saya karena selalu mendapatkan sekolah dengan jarak tak jauh dari rumah atau biasa ditempuh dengan angkutan umum. Bahkan saat kuliah pun, saya memilih untuk pulang pergi dengan bis DAMRI rute Elang - Jatinangor atau Dipatiukur - Jatinangor.
Kost pertama saya terletak di dekat pusat Kota Cianjur, tepat di pinggir jalan utama yang ramai. Kost an ini jauh dari tempat saya bekerja, kurleb 30 - 40 menit perjalanan dengan 2x angkutan umum. Alasan pertama adalah saya tak terbiasa tinggal di pedesaan (yup, saya bekerja jauh dari kota) yang membuat saya 'nelangsa' karena jauh dari keramaian dan berbagai fasilitas umum.
Hanya bertahan beberapa bulan, seorang teman menawarkan untuk menyewa sebuah rumah kontrakan dan tinggal berdua. Saya pun menyanggupi. Barulah saya menngetahui adanya rumah gadai yang ditawarkan untuk ditempati dengan skema peminjaman uang yang waktu pelunasan yang disepakati kedua belah pihak.
Skema Gadai
Jujur saja skema rumah gadai ini tak pernah saya bayangkan sebelumnya karena tak ada praktek rumah gadai seperti ini yang pernah saya temui di Bandung. Tak hanya rumah, teman Menong bisa juga menggadai kebun atau sawah.
Pemilik kontrakan yang saya tempati memutuskan akan menghuni rumah tersebut sehingga otomatis saya harus mencari kontrakan baru. Qodarullah, di tengah kebingungan mencari rumah, saya menemukan rumah gadaian.
Konon, rumah itu sudah digadaikan hampir sepuluh tahun lamanya. Penghuni sebelumnya akan pindah ke Bandung sehingga pemilik rumah harus mengembalikan uang sebesar Rp. 12 juta. Namun karena beliau belum mempunyai uang akhirnya rumah itu ditawarkan untuk over gadai (pindah gadai). Jadilah saya membayar sejumlah uang kepada pemilik rumah yang langsung diberikan kepada penghuni sebelumnya.
Rumah gadai adalah rumah yang bisa di tempati sebagai jaminan dari praktik gadai.
Saya jatuh cinta saat pertama kali melihat rumah ini. Cat berwarna putih, sinar matahari yang masuk hingga ke dalam rumah, dapur yang luas, kamar mandi yang bersih. Sayang nya kondisi rumah memang tak begitu bagus.
Tembok yang lembab karena menempel pada dinding bangunan sebelah dan genteng bocor sehingga merusak langit-langit bilik hingga berlubang. Langit-langit bilik juga menjadi tempat favorit anabul beranak sehingga sering kali saya mendengar suara anabul yang membuat saya stres dan tak bisa tidur. Yap, saya takut dan tak suka suara kucingš±
Perbaikan rumah sepenuhnya kewajiban saya. Biaya kontrakan setahun yang bisa mencapai 3 – 5 juta bisa saya pangkas dengan menempati rumah gadai ini. Meski berada di gang senggol, rumah ini terletak di dekat jalan utama dengan akses satu kali angkutan umum menuju kantor.
Seperti banyak rumah di daerah pinggiran Cianjur, di dalam gang hanya ada dua rumah saja, rumah yang saya huni dan rumah orang tua pemilik rumah yang saya huni. Selebihnya adalah kebun dan sungai kecil.
Hanya berselang 2 tahun kemudian, pemilik rumah ‘memaksa’ saya untuk menaikan harga gadai dengan alasan butuh moal usaha. Bila saya tak menyanggupi, pemilik rumah akan meng-over gadai rumah kepada orang lain.
Karena saya sudah tak lagi punya energi mencari kontrakan baru (plus terbayang harga kontrakan yang semakin mahal setiap tahunnya), akhirnya saya menyanggupi untuk menambah uang sebesar Rp. 8 juta.
Trik semacam ini terkadang dilontarkan pemilik rumah agar kita bersedia meminjamkan uang lebih banyak lagi. Trik ini juga sering ‘disambut’ penerima gadai karena semakin tinggi uang yang dipinjam, semakin sulit juga pemilik membayar pinjamannya dan berakhir dengan melepas jaminan kepada penerima gadai dengan harga yang lebih rendah dari pasaran.
Saya sendiri tak berniat ‘menguasai’ rumah gadai ini karena lokasinya yang berada di gang tanpa akses keluar masuk mobil. Selain itu, surat kepemilikan rumah masih berupa girik letter C.
Bila pemilik rumah terus menerus menaikan harga gadai rumah, dengan terpaksa saya memilih ‘out’ saja karena harganya yang semakin tak masuk akal untuk rumah sederhana tanpa surat-surat. Saya juga bingung karena tak memiliki uang untuk mengontrak rumah.
Pengalaman Menarik
Setelah mempelajari ilmu tentang riba, saya akhirnya memutuskan untuk keluar dari rumah itu dengan berniat meninggalkan praktik riba dan mengganti skema riba dengan sewa rumah per tahun dengan cara menghitung biaya sewa dikalikan jumlah tahun saya menempati rumah.
Sejatinya dalam pinjam meninjam dengan jaminan, kita tak boleh memanfaatkan jaminan tersebut (memakai atau menempati). Wallahu a'lam bishawab.
Apa saja pengalaman selama saya tinggal di rumah gadai sendirian tanpa Zauji?
Belajar tinggal mandiri seperti mengatur waktu untuk memasak, beres-beres rumah, mengkondisikan rumah saat akan ditinggal jauh, menikmati saat-saat sakit tanpa ada yang menemani, dan merasakan rumah bocor atau genting yang bolong pada saat hujan deras dan membasahi lemari pakaian dan baju.
Saya juga pernah menemukan ular di atas keset depan kamar mandi saat terbangun tengah malam. Dengan gagah berani saya dorong keluar karena di samping kamar mandi ada akses pintu keluar juga. Belum lagi sarang tawon yang terus menerus ada dan harus saya 'musnahkan' sebelum jadi besarš©
Alhamdulillah saya kini saya sudah kembali ke Bandung. Pengalaman tinggal di rumah gadai memberikan saya berbagai pengalaman menarik dan ilmu mengenai praktik riba.
Post a Comment
Post a Comment