Saat berkunjung ke suatu daerah, salah satu hal yang saya dan Zauji sukai adalah melihat budaya setempat yang unik . Sisingaan merupakan salah satu budaya yang nyaris sudah jarang kami temui di Bandung. Sisingaan menjadi ikon kesenian khas Subang yang sarat dengan filosofi dan sejarahnya yang menarik.
Budaya Jawa Barat
Indonesia negeri tercinta kita ini memiliki banyak sekali budaya yang unik dan istimewa. Saking banyak sekali jumlahnya, sering kali kita tak pernah benar-benar mengenal lebih dalam budaya yang bahkan dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Budaya hadir dan tumbuh sebagai warisan dari pendahulu kita dan menjadi cerminan perilaku suatu masyarakat. Setiap daerah pastinya memiliki budaya tersendiri. Jawa Barat sendiri dikenal dengan keindahan alam, lezatnya kuliner dan seni yang sudah dikenal luas seperti tari merak, tari jaipongan, tari ketuk tilu, wayang golek, angklung atau suling.
Subang merupakan salah satu kabupaten yang ada di Jawa Barat. Kabupaten Subang berjarak kurang lebih 62 km dari Kota Bandung. Dahulu, bila akan menuju Subang dari arah Kota Bandung, teman Menong harus melalui beberapa titik destinasi wisata yang menjadi sumber kemacetan seperti pertigaan Ledeng - Sersan Bajuri, Lembang, Tangkuban Perahu dan Ciater.
Jarak ini kini semakin dekat sejak hadirnya Tol Cipali (Cikopo Purwakarta - Palimanan Cirebon) yang memangkas waktu perjalanan hanya 1 jam saja.
Subang dikenal juga dengan keseniannya yang beragam meski tak banyak dikenal. Sisingaan merupakan salah satu kesenian asal Subang yang dikenal pula di luar Subang karena keunikannya. Sisingaan banyak dikembangkan di Subang bagian Selatan dan Utara.
Sejarah Sisingaan
Sisingaan merupakan pertunjukan arakan patung berbentuk boneka singa dalam sebuah iringan pawai. Patung singa ini digotong dan diarak menyusuri jalanan kampung secara berramai-ramai. Sisingaan juga sering disebut sebagai singa depok atau odong-odong.
Bentuk singa dari kesenian Sisingaan ini bukanlah sesuatu yang tanpa makna. Singa sebetulnya merupakan sindiran terhadap penjajah Belanda. Singa serupa dengan simbol negara Belanda yang melambangkan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), perusahaan dagang Belanda yang didirikan pada tahun 1602 untuk memonopoli perdagangan di Asia, khususnya rempah-rempah. Penindasan Belanda memantik adanya perlawanan dari bangsa Indonesia.
Dan pastinya tak semua perlawanan harus berupa angkat senjata namun bisa juga berupa sindiran lewat kesenian seperti kakawihan Sunda yang sarat dengan motivasi perjuangan.
Demikian pula dengan sisingaan, para seniman mengobarkan tekad perjuangannya berupa simbol dengan penuh kreativitas. Sisingaan menjadi ungkapan ketidaksukaan rakyat terhadap penindasan penjajah. Menunggangi singa dalam kesenian Sisingan diartikan sebagai bentuk rakyat kecil yang bisa menaklukan kekuatan dan kesombongan penjajah Belanda, penindasan bisa dilawan oleh rakyat kecil sekalipun.
Seiring perjalanan waktu, Sisingaan mengalami beberapa perubahan seperti arakan tak lagi berbentuk patung namun lebih menyerupai hewan singa dengan tambahan penyajian yang inovatif dalam gerakan, iringan musik, dan busana tradisional yang dikenakan.
Sisingaan kini menjadi bagian dari hiburan yang dikenal dengan sajian menarik dan atraktif. Sisingaan khas Subang terdiri dari 2 - 4 boneka singa yang dibuat agar nampak gagah dan menarik. Awalnya boneka singa dibuat dari dedaunan (daun kaso dan daun pinus) dan kayu (kayu randu atau albasiah), anyaman bambu dan karung goni.
Dan tentunya kini pembuatan sisingaan dikemas lebih modern agar lebih indah menyerupai singa dipahat dengan bahan kayu yang ringan namun kuat agar dapat menahan beban di atasnya, penambahan bulu menyerupai singa dan cat warna warni yang disesuaikan. Warna emas, merah dan hitam menjadi warna dominan yang melambangkan gagah berani. Sebagai hiasan, kain beludru dan ornamen lain turut memperindah.
Boneka singa diusung oleh 4 (empat) orang penari yang disebut 'panggotong' dengan gerakannya yang khas berupa gerakan pencak silat berupa tendang, lompatan, minced (langkah kaki diangkat sebatas mata kaki kemudian digerakkan melingkar ke arah dalam) dan dorong sapi (lutut diangkat tinggi lalu mendorong tungkai ke depan untuk menyerang bagian tubuh lawan).
Awalnya musik pengiring sisingan biasanya berupa musik khas Sunda seperti dogdog, genjring, kendang, goong, angklung dan terompet.
Sisingaan dan Khitanan
Seiring berjalannya waktu, sisingaan tidak lagi dijadikan sebagai sekadar simbol perlawanan tapi menjadi kesenian khas Subang, Sisingaan menjadi salah satu hiburan dalam suatu perayaan seperti khitanan.
'Raja kecil' yang baru saja dikhitan dirayakan dengan duduk di atas boneka singa yang diarak keliling kampung. Sisingaan menjadi simbol sang anak menjalani kehdiupan baru dengan gagah berani.
Semua kru menggunakan kostum berwarna warni bertema tradisional. Para penggotong akan melakukan atraksi menarik seperti berputar dan mengangkat tandu tinggi yang diiringi musik. Suasana berlangsung meriah karena sesekali para penggotong dan pengiring berjoget dan bersorak.
Kini iringan musik berkembang dengan adanya teknologi sound system yang menyajikan musik dangdut, organ dan gitar listrik.
Pertunjukan tidak berhenti pada arak-arakan saja. Para pemikul singa sering menampilkan atraksi unik seperti berputar, mengangkat tandu tinggi-tinggi, bahkan berjoget mengikuti irama musik tetabuhan tradisional Sunda yang mengiringi. Instrumen yang digunakan antara lain kendang, gong, terompet Sunda, dan kecrek yang menghasilkan suasana riang dan meriah.
Selain untuk khitanan, Sisingaan kini juga tampil dalam acara resmi, penyambutan tamu penting, hingga festival budaya di tingkat nasional maupun internasional.
Pada tanggal 26 Oktober 2024, sebagai bagian dari peringatan Hari Sumpah Pemuda, Kabupaten Subang menerima penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) atas “Gotong Sisingaan Terbanyak di Dunia” dengan jumah 220 Sisingaan yang turut serta.
Di tengah gempuran budaya luar, Sisingaan tetap mendapat tempat di hati masyarakat. Tak hanya di Subang, Sisingaan juga dikenal di Kabupaten Purwakarta. Sisingaan Purwakarta memiliki sedikit perbedaan karena merupakan modifikasi dari Reog Ponorogo sehingga bagian kepala Singa berbentuk topeng besar berbeda dengan Sisingaan Subang.
Di Bandung sendiri, Sisingaan masih ditampilkan untuk mengarak anak yang baru dikhitan. Dalam pelaksanaannya sering kali prosesi SIsingaan mengakibatkan kemacetan di jalan karena arakan panjang. Pengiring Sisingaan lebih didominasi oleh anak muda. Sebetulnya ini menjadi hal yang positif agar generasi muda juga mencintai budaya nusantara.
Hanya saja, sering kali terjadi pergeseran makna karena perubahan nilai seperti nuansa musik yang digunakan, kelakuan 'negatif' para pengiring seperti mabuk atau menggunakan pakaian yang tidak sesuai gender nya atau gerakan yang tidak baik untuk dipertontonkan dan lainnya. Meski begitu Sisingaan tetap menjadi bagian dari tradisi Jawa Barat yang patut dijaga.
Post a Comment
Post a Comment