Cara Mengatasi Trauma Masa Kecil

Post a Comment
Berpuluh tahun berlalu. Untuk sebagian besar orang, mungkin masa-masa panjang itu cukup untuk menghapus sebuah kenangan dari masa lalu. Namun tidak dengan saya yang ternyata masih harus berjuang mencari cara mengatasi trauma masa kecil.

Tonggeret

Ketakutan dan kesedihan itu masih tampak nyata setiap kali saya mendengar suara tonggeret. Ya, serangga kecil yang nyaring terdengar di akhir musim penghujan ini adalah ketakutan terbesar saya. Bahkan jauh bila dibandingkan dengan kucing atau ulat yang keduanya saya hindari namun tak cukup untuk membuat saya histeris ketakutan atau sedih setengah mati.

Lahir dan besar di kota besar, tentunya jadi pertanyaan besar mengapa saya anti dengan jenis serangga sub ordo Cicadomorpha ini. Dan tentunya, tonggeret atau yang juga dikenal dengan sebutan garengpun nyaris jarang terdengar bahkan tak diketahui keberadaannya.


Awal Trauma

Saya sendiri nyaris tak ingat mengapa saya selalu merasa sedih, hampa dan ketakutan setiap mendengar nyanyian orchestra alam yang kerap ditemui di pedesaan ini.

Berbelas tahun nyaris tak ingat, suatu sore tiba-tiba saya menangis begitu mendengar suara tonggeret di kebun belakang rumah kontrakan saya. Saya sendiri tidak mengerti apa yang terjadi. Dan kejadian ini berulang sehingga saya mulai menghapal ritmenya.

Petang…tonggeret…hawa dingin…hutan…bau hujan…dan rasa sedih yang membuat saya menangis. Rasanya saya sudah cukup dewasa untuk tahu bila ada luka di batin saya yang menimbulkan trauma sehingga saya bereaksi negatif setiap kali mendengar tonggeret.

Trauma sendiri diartikan sebagai respons emosional seseorang terhadap kejadian tidak menyenangkan yang menimpa diri kita atau orang terdekat kita. Respon terhadap trauma dapat berbentuk fisik seperti sakit kepala atau mual dan respon secara psikis seperti stres.

Telusuri Asal Mula Trauma Kita

Sebagai pribadi introvert (rasanya dulu saya introvert dan kini tak lagi karena Sebagian besar teman mengatakan saya ini cerewet, bawel dan terbuka), saya tak pernah menceritakan ini kepada siapapun. Saya membuka lembaran ingatan masa kecil saya.

Sebagian memori saya masih menyimpannya. Halaman besar, rumah bercat merah, ayunan, sekolah, pintu kayu yang bagian atasnya terbuka, anjing, hutan dan rel kereta api. Meski tak mengerti mengapa saya mengingat semua itu dengan detil dan tak tahu apakah itu hanya khayalan saya belaka atau memang demikian adanya.

Tonggeret (Sumber : edukasi.okezone.com)

Tepat pada saat ayah saya berpulang, kami kembali ke tempat di mana berpuluh tahun yang lalu, tepatnya saat saya berusia dua tahun, saya tinggali saat saya hidup terpisah dari Ibunda karena sesuatu hal.

Dan itu terjadi begitu saja, saat kami tiba di rumah duka (ayah saya dimakamkan di tempat berbeda dengan tempat kami tinggal sesuai amanat beliau), saya melihat gambaran yang dulunya hanya ada di ingatan saya. Kembali ke sana ternyata memicu kembali trauma saya. Saya menjadi sangat sensitif dengan suara tonggeret. Dan hal itu bisa membuat saya menangis bercucuran air mata secara tiba-tiba.

Tidak Menyalahkan Diri Sendiri

Saya tidak pernah menyangkal bahwa saya menderita trauma. Namun saya tidak pernah menyalahkan diri saya atas semua yang terjadi pada masa lalu. Saya tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di masa kecil saya. Saya pun tidak menyalahkan orang-orang dewasa di sekitar saya dulu.

Semua yang terjadi adalah takdir Allah. Bagaimanapun, Alhamdulillah saya masih diberi kesempatan untuk bernafas hingga saat ini, sehat dan bahagia.Saya hidup untuk diri saya dan masa depan saya. Meski tak bisa saya lupakan, biarkan masa lalu tetap ada di belakang.

Adapun respons yang selalu muncul saat mendengar suara tonggeret pun saya maklumi sebagai respon alamiah. Belajar berdamai dengan diri sendiri karena bagaimana pun sebagai manusia makhluk yang tak memiliki kekuatan apapun selain ijin-Nya, kita akan memerlukan proses dan waktu untuk healing.

Bicaralah Pada Seseorang

Well I know I need talk to someone.

Berbicarakan tentang perasaan kita kepada orang lain dan cari dukungan pada orang yang kita anggap amanah, entah orang tua, saudara atau psikolog.

Sejujurnya saya bukan orang yang mudah curhat, tapi kondisi ini tentunya sudah memasuki tahap serius dan saya tidak mau hidup saya terus-terus dilanda ketakutan. Orang yang pertama saya temui adalah adik saya yang menyarankan dengan tegas kalau saya tak boleh lagi kembali ke tempat trauma asal berasal apapun alasannya.

Sejak duduk di bangku SMA, saya juga tidak malu untuk berkonsultasi dengan psikolog. Karena bantuan professional akan membantu saya mengenali diri sendiri.

Beri Waktu Untuk Diri Kita Sendiri

Bukanlah hal yang mudah untuk menghilangkan dan mengatasi trauma yang sudah lama terpatri dalam pikiran alam bawah sadar. Ingatan yang kerap datang tiba-tiba tentunya tak selama nya kita hindari.

Cobalah untuk rileks dan menyadari, kita lah yang seharusnya mengendalikan diri kita sendiri. Beri waktu untuk diri kita untuk mengenali, mempelajari dan belajar mengalihkan perhatian kita agar dapat fokus pada hal lain. Tidak perlu tergesa-gesa. Segala sesuatu perlu proses dan waktu.

Kembalikan kepada Allah

Allah-lah yang menggerakan sel-sel di otak kita dan membolak balikan hati kita. Bermohonlah kepada Allah untuk menghilangkan rasa sedih, takut, cemas, gelisah, khawatir di pikiran kita. Tiada yang Maha Menggenggam Segalanya kecuali Allah.

Kembalikan segala kepada Allah. Masa Lalu. Masa Depan. Sejatinya hanya milik Allah.

Dan apakah saya sudah bisa mengenyahkan perasaan itu?

Jawabannya adalah...belum.

Saya masih sering memeluk Zauji saat tiba-tiba mendengar suara makhluk kecil lucu menggemaskan yang belum pernah sekalipun saya temukan. Insyaallah saya sudah mengikhlaskan semua yang terjadi sebagai bagian dari skenario Allah untuk saya dan belajar cara mengatasi trauma masa kecil. Lebih banyak orang-orang yang mencintai saya. Tetap bersyukur dan semangat.

Related Posts

Post a Comment