Pengalaman Lebaran di IGD...Momen Berkesan Lebaran Part 1

Post a Comment
Lebaran beberapa tahun lalu menjadi momen paling berkesan selama diberi nikmat menjalani lebaran. Bagaimana tidak, di saat semua orang bersuka cita saling bersilaturahim dengan sanak saudara, saya sibuk bersilaturahim dengan Instalasi Gawat Darurat (IGD) di 7 (tujuh) rumah sakit di kota Bandung. Pengalaman berlebaran di IGD yang tak akan saya lupakan.

Bermula di hari kedua lebaran menjelang subuh, saya terbangun karena rasa sakit yang luar biasa di perut kanan sebelah bawah. Masih punya tenaga untuk melompat, saya mengetuk pintu kamar Ibunda sambil menangis histeris.

Rasa sakit yang tak tertahankan itulah membuat seisi rumah panik dan bergegas membawa saya ke rumah sakit terdekat. Meski RS hanya ditempuh dalam waktu 10 menit, rasanya saya tersiksa berjam-jam dengan perut serasa ditusuk ujung pedang. Usus buntu, itulah yang muncul di benak saya, terlebih sehari sebelumnya saya mengalami diare ringan.

RS Al Islam

IGD di pagi hari pada hari kedua bulan syawal, meski suasana nampak sepi, namun IGD RS Al Islam Bandung ramai dengan keriuhan pasien. Di dekat saya, seorang bapak setengah baya menjerit-jerit karena konon katanya tidak bisa buang air kecil berhari-hari. Hampir 15 menit menunggu, rasa sakit di perut saya menghilang.

Dokter yang memeriksa hanya memberikan obat lambung meski saya bersikeras bukan lambung yang saya rasakan tadi pagi. Karena kondisi saya segar bugar, dokter mengijinkan saya kembali pulang setelah menyelesaikan administrasi BPJS. Dan di tengah perjalanan, adik saya menyodorkan pisang goreng agar perut saya yang kosong terisi lagi.

RS Hermina

Kembali ke rumah, semua kembali beraktivitas. Namun tak lama berselang, perut saya kembali sakit bahkan lebih hebat dari sebelumnya. Rasanya sakit tak tertahankan plus muntah hebat. Adik saya kembali mengantarkan saya ke rumah sakit, kali ini RS Hermina. Saya diterima di IGD dalam kondisi muntah terus menerus.

Dokter jaga menginstruksikan untuk dilakukan pemasangan infus, pemeriksaan darah dan urine dan hasilnya menunjukan ada kenaikan eritrosit (15.000 dari nilai maksimal 11.000 yang menunjukan adanya infeksi dalam tubuh saya) dengan kondisi urine yang keruh.

Diagnosa awal adalah usus buntu namun kepastian diagnosa hanya bisa dibuktikan dengan USG. Ultrasonografi (USG) abdomen merupakan USG yang dilakukan untuk mendiagnosa penyakit dalam seperti batu empedu, batu ginjal, pankreas dan lainnya. USG abdomen dilakukan seperti halnya USG kandungan namun dengan area yang tentunya lebih luas.

Inilah yang menjadi masalah karena layanan klinik dalam posisi cuti lebaran dan akhir pekan. Dokter jaga memberikan rujukan ke RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung namun dengan berbagai pertimbangan, saya dan keluarga memilih RS Santosa.

RS Santosa

Berbekal surat rujukan, kamipun melaju ke IGD RS Santosa, di perjalanan rasa sakit mulai berkurang dan hanya terasa saat jalanan tidak rata saja. Setiba disana, RS Santosa menolak karena layanan USG pun cuti lebaran saat itu. Tak ada pilihan lain, kami pun meluncur ke RSHS dengan pertimbangan, USG di RS pusat akan tetap ada meski kondisi libur lebaran.

RS Hasan Sadikin 

Jam 8 kurang, kami tiba di IGD RSHS Bandung, petugas satpam mengarahkan saya untuk langsung masuk di IGD. Baru saya ketahui, kebijakan RSHS berbeda dengan RS lain. Bila saya bersikeras ingin dirawat di IGD maka saya harus menandatangani persetujuan tindakan (operasi) dalam hal ini operasi usus buntu sebelum saya memasuki ruangan.

Bila tidak setuju, dokter jaga mengarahkan saya untuk kembali mencari rumah sakit lain atau pulang. Tak ada pilihan lain, meski tanpa USG, saya memberikan persetujuan. Satu hal yang saya pahami, tentunya pasien yang tidak akan melakukan tindakan tidak diperkenankan memasuki ruang IGD karena keterbatasan fasilitas.

Di ruangan IGD, saya hanya ditunggui Ibunda. Seperti RS umum lainnya, suasana IGD ramai. Hampir semua tempat tidur terisi pasien. Di sebelah kanan saya, seorang wanita mengeluhkan lengannya yang sakit (saya lupa alasannya) dan di sebelah kiri saya, seorang laki-laki korban kecelakaan yang tak sadarkan diri.

Seperti umumnya RS umum, saya lumayan lama menunggu untuk diperiksa. Sambil menunggu dan menikmati rasa sakit yang sedikit berkurang. Telinga saya menguping percakapan di sekitar saya. Entah koas (calon dokter) atau residen (calon dokter spesialis), hilir mudik memeriksa dan bertanya kepada pasien.

Karena pemeriksaan itu berulang hampir setiap 15 menit sekali, saya hapal jenis pertanyaan dokter dan jawaban pasien. Bahkan, saat dokter bertanya pada asal daerah pasien kecelakaan di sebelah kiri saya, rasanya saya ingin berteriak menjawab: “Dari NTT, dok...bukan dari Papua.”😀

Tak lama kemudian, dokter mulai memeriksa saya dan menanyakan keluhan yang saya rasakan. Seperti yang saya jelaskan di dua RS sebelumnya, saya memberitahukan kepada dokter, perut kanan sakit luar biasa, tidak panas atau demam, tidak pusing dan lainnya. Saya juga menyampaikan hasil lab RS Hermina dan diagnosa awal usus buntu yang harus diperkuat dengan USG. Seorang perawat memasangkan selang infus (infus ke-2 di hari itu) yang mungkin berisi obat anti nyeri dan saya menanyakan kondisi RS kepada beliau.

Banyaknya pasien yang tidak seimbang membuat tenaga kesehatan baik dokter atau perawat harus bekerja lebih keras. Two thumbs up untuk semua nakes yang bertugas di hari lebaran👍👍

Rasanya waktu berjalan lambat. Beberapa lama kemudian, dokter (yang menurut dugaan saya seorang residen) kembali memeriksa dan menanyakan kondisi saya. Mungkin ada 2 atau 3 kelompok yang berbeda yang akhirnya membuat saya jengkel karena terus menerus ditanya dengan pertanyaan yang sama di saat saya masih meringis kesakitan (Maaf ya,dok😷). Dan akhirnya saya berhenti ditanya-tanya dan dibiarkan istirahat sambil menunggu pemeriksaan selanjutnya.

Selanjutnya, dokter yang sama mulai memeriksa saya dengan seksama, mengecek apakah perut kanan saya sakit saat kaki ditekuk (sepertinya ini pemeriksaan standar dugaan usus buntu ya), menepuk punggung tepat di area ginjal dan memeriksa perut saya berkali-kali (Awkward moment, rasanya tentu tak nyaman diperiksa dokter laki-laki ya tapi saya sudah pasrah). Tak ada keluhan yang berarti dan akhirnya dokter meminta ijin untuk pemeriksaan lewat dubur

Awalnya saya menolak karena saya hanya mau diperiksa dokter perempuan dan menandatangi berkas penolakan saya (setelah berdebat pendek). Namun melihat kondisi dan saya paham prosedur pemeriksaan tentunya harus seperti itu, akhirnya saya mengijinkan dokter jaga untuk memeriksa saya dengan catatan dilakukan secara tertutup.

Jam 12 siang, dokter meminta saya untuk memberikan sampel urine. Dalam kondisi yang sudah mulai membaik tanpa rasa sakit, saya pergi ke toilet yang terletak di ruangan lain dan memberikan sampel urine tersebut kepada Ibunda untuk diserahkan ke laboratorium. Inilah proses di RS umum, tidak boleh berkomentar untuk menginginkan fasilitas lebih.

Jam 1 siang, dokter jaga mengarahkan saya untuk melakukan USG abdomen di gedung yang berbeda. Dokter mengantarkan saya kesana. Ada satu hal yang tampaknya terlupakan, tentunya saya gagal diUSG karena kondisi kemih saya yang kosong pasca pemeriksaan urine. Dokter USG menyuruh saya minum agar kemih terisi sehingga USG dapat dilaksanakan. Alhamdulillah, ada bala bantuan dari adik-adik sepupu saya sehingga Ibunda tak perlu repot mencari air minum.

Dokter USG menyatakan bahwa usus buntu saya masih berdenyut...artinya secara teori masih baik-baik saja. Namun hal itu tidak memecahkan masalah mengapa perut saya sakit luar biasa. Dokter USG menyuruh saya kembali ke IGD dan di tengah perjalanan, perut saya kembali seperti ditusuk ujung pedang. Kembali di ruangan IGD, tak ada yang bisa dilakukan karena dokter harus menunggu hasil pemeriksaan urine dan USG terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan selanjutnya.

Pengalaman lebaran di IGD ini tak berakhir sampai sini. Apakah yang terjadi selanjutnya?

Related Posts

Post a Comment