Sejak Kebun Binatang Bandung muncul di pemberitaan terkait dengan pengalihan kepemilikan, secara instens saya selalu mengikuti informasi terkini. Ingatan saya melayang kembali mengingat pengalaman indah yang pernah saya alami sedari kecil dulu. Bagi saya Kebun Binatang Bandung bukan sekedar destinasi wisata favorit. 758
Lokasi
Kebun Binatang seluas 14 hektar ini terletak di Jl. Kebun Binatang No.6, Lb. Siliwangi, Kecamatan Coblong, Kota Bandung. Dari arah Gerbang Tol Pasteur, teman Menong dapat mengambil jalan layang Pasupati dan turun di daerah Taman Sari dan langsung belok kiri. Tempat yang teman Menong tuju tepat berada di seberang Institut Teknologi Bandung (ITB).
Tak sulit menemukan angkutan umum yang dapat membawa teman Menong ke Kebun Binatang Bandung. Ada tiga jalur angkot yang lewat persis di depannya yaitu angkot Cicaheum – Ledeng, Sadang Serang – Caringin dan Dipatiukur – Panghegar.
Bila menggunakan DAMRI Leuwipanjang - Dago, teman Menong bisa turun di depan RS Santo Borromeus lalu jalan kaki (atau naik angkot) lewat Mesjid Salman dan ITB.
Sejarah Kebun Binatang
Berpuluh tahun menjadi wargi Bandung, saya mengira Kebun Binatang Bandung milik dan dikelola pemerintah khususnya Pemerintah Kota Bandung. Ternyata dugaan ini salah, saat berbincang dengan pedagang di depan kampus Ganesha, barulah saya tahu bila kebun binatang adalah milik perorangan yang dikelola sebuah yayasan.
Dahulu tercatat ada dua kebun binatang di Bandung Raya, satu terletak di Cimindi (kini Kota Cimahi, namun saya tak tahu dimana persisnya) yang didirikan Bupata R.A.A Martanegara pada tahun 1900 dan di Bukit Dago yang didirikan sejumlah pencinta satwa.
Pada tahun 1933, atas prakarsa Bandoeng Vooruit, kedua kebun binatang tersebut diintegrasikan dan pindah ke bagian selatan Taman Botanik atau Jubileumpark. Jubileumpark merupakan taman yang membentang dari Lebak Gede Barat hingga Cikapundung Timur.
Jubileumpark menjadi cikal bakal daerah Tamansari, dekat Babakan Siliwangi, kawasan Kebun Binatang Bandung saat ini (tak heran kawasan ini sangat teduh penuh pepohonan ya). Taman hewan ini disahkan sebagai Bandoengsche Zoologisch Park dengan asosiasi Bandoeng Zoological Park sebagai pengelolanya.
Sebagian lahan yang digunakan merupakan lahan gemeente atau pemerintah Kota Bandung.
Bandoengsche Zoologisch Park dipimpin oleh Hogland, Kepala Bank DENNIS (cikal bakal Bank Jabar Banten) yang menjadi penyandang dananya. Taman hewan ini berkembang menjadi salah satu destinasi wisata populer di Bandung.
Saat Jepang menjajah, tentunya berdampak pula pada keberlangsungan Bandoeng Zoological Park. Dengan keterbatasan biaya, Bandoeng Zoological Park diurus oleh sekelompok orang termasuk R. Erma Bratakoesoema, seorang tokoh Sunda.
Kondisi serba kekurangan ini berlangsung hingga pasca tahun 1945 – 1950, era agresi militer I dan II serta jatuh bangunnya kabinet pemerintahan Indonesia di awal 1950-an.
Di tahun 1965, Hogland kembali ke Bandung dan melihat kondisi Bandoengsche Zoologisch Park yang memprihatinkan. Saat itulah terjadi kesepakatan antara Hogland dengan R. Erma Bratakoesoema untuk membubarkan Bandoengsche Zoologisch Park, melikuidasi sisa kekayaan taman hewan dan mendirikan Yayasan Margasatwa Tamansari (Bandoeng Zoolical Garden).
Hogland masih berperan sebagai ketua yayasan dibantu beberapa orang Belanda. Hanya satu tahun, Hogland dan rekan-rekannya kembali ke Belanda dan menyerahkan yayasan kepada R. Erma Bratakoesoema hingga pada akhirnya kepengurusan yayasan diteruskan ahli waris beliau.
Kenangan Masa Kecil
Saya sendiri rasanya minimal setahun sekali ‘bersilaturahim’ dengan penghuni kebun binatang sejak saya kecil. Keluarga Ayahanda dan Ibunda memang tinggal tak jauh dari daerah Gasibu yang notabene tak jauh pula dari daerah Taman Sari. Terlebih lagi, salah seorang uwa saya memiliki rumah tak jauh dari pintu gerbang kebun binatang.
Di luar gonjang ganjing alih kepemilikan, Kebun Binatang Bandung menjadi tempat ideal untuk edukasi anak untuk mengenal hewan dan tanaman.
Ingatan saya masih tepatri kuat. Ayahanda sering menggendong saya karena dulu (nampaknya) di dalam area kebun binatang masih ada kambing yang dilepasliarkan begitu saja sehingga membuat saya takut.
Kebiasaan ini terbawa hingga saya dewasa. Hampir setiap lebaran rasanya tak lengkap bila tak mampir. Suasana saat lebaran sangat meriah karena banyak rombongan datang menggelar tikar dan menikmati bekal di atas rumput. Biasanya kami ditemani paman yang kini telah tiada (Al Fatihah).
Dari harga tiket yang mungkin dulu hanya Rp. 500 hingga (kini) mencapai Rp. 60.000, mengunjungi kebun binatang juga menjadi bagian dari kegabutan kami. Terkadang saya dan teman-teman datang berkunjung saat jenuh dengan kuliah (btw, kami hanya tinggal menyeberang jalan saja). Begitu pun kakak sepupu saya yang bekerja di Universitas Padjadjaran, meluncur menggunakan angkot dan menghabiskan waktu istirahatnya di sana.
Meski begitu, saya sempat mogok beberapa tahun karena malas diledeki yang lain berhubung salah satu gajah tunggang disana dinamai persis dengan nama saya😏.
Qodarullah, di awal Syawal ini, salah seorang sepupu kami yang biasanya janjian untuk sowan dengan aneka satwa di sana, berpulang meninggalkan 3 putra-putrinya yang masih kecil (Al Fatihah untuk Nuniek Utade, adikku tersayang💔). Separuh kenangan kami seolah terpatri di Kebun Binantang Bandung yang menorehkan banyak cerita.
Menarik banget sejarah kebun binatang Bandung, ya mbak. Waktu kecil dulu juga sering banget pergi ke Kebun Binatang untuk berkarya wisata bersama keluarga.
ReplyDelete