Sejarah Gedung Sate Bandung

Post a Comment
Bagi teman Menong yang pernah berkunjung ke Bandung atau tinggal di Jawa Barat pastinya akan mengenal satu gedung sangat ikonik. Gedung Sate Bandung, Pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang dikenal sebagai salah satu bangunan legendaris yang melampaui jaman.

Bandung

Gedung Sate berlokasi di Jalan Diponegoro No. 22, tepat berseberangan dengan Lapangan Gasibu Bandung dengan pemandangan utama Gunung Tangkuban Perahu yang berada di Utara Kota Bandung. Dari Gerbang Tol Pasteur, teman Menong hanya perlu berjalan lurus dan naik menuju Jalan Layang Pasopati yang berakhir di Jalan Surapati (Lapangan Gasibu). Dari arah ini, teman Menong bisa belok ke arah kanan. Sebetulnya Gedung Sate akan terlihat saat kita tiba di antara Lapangan Gasibu - Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat. 

Namun rekayasa lalu lintas membuat kendaraan yang akan menuju Gedung Sate harus memutar terlebih dahulu hingga Pusat Dakwah Islam (PUSDAI) atau kantor Radio Republik Indonesia (RRI).

Berdasarkan data sejarah, Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi pertama yang dibentuk pemerintahan Belanda di Hindia Belanda dengan nama West Java Provinci. Setelah Indonesia merdeka, provinsi ini menjadi Provinsi Jawa Barat di tahun 1950 yang meliputi Karesidenan Banten, Jakarta, Bogor, Priangan dan Cirebon.

Meski begitu, sejak lama Jawa Barat telah memiliki pemerintahan sendiri seiring dengan munculnya kerajaan di lingkungan Pasundan seperti Kerajaan Salakanagara di abad ke-2 dan Kerajaan Tarumagara di abad ke-15.

Gedung Sate sendiri didirikan pada tanggal 27 Juli tahun 1920 pada saat pemerintah Hindia Belanda ingin memindahkan pusat pemerintahannya dari Batavia ke Bandung dengan dasar pertimbangan iklim di Kota Bandung sejuk dan nyaman untuk ditinggali.

Pembangunan Gedung Sate

Perencanaan pembangunan Gedung Sate atau Gouvenments Bedrijven (dibuat oleh tim yang dikepalai Kol. Pur. V.L. Slors dengan anggota tim Ir.J.Berger, arsitek muda kenamaan lulusan fakultas tehnik Delft Nederland (universitas ternama di Belanda), It.Eh.de Roo dan In G. Hendriks serta pihak Gemeete van Bandoeng (Pemerintahan Otonom di Bandung yang dibentuk pada tanggal 1 April 1906.
Peletakan batu pertama pada pembangunan Gedung Sate dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, puteri sulung Walikota Bandung, B. Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal di Batavia, J.P. Graaf van Limburg Stirum. 
Pembangunan ini termausk dalam proyek besar yang berlangsung selama 4 tahun melibatkan 200 orang pekerja termasuk 150 orang pemahat atau pengukir batu nisan dan kayu dari Cina. Pekerja lokal yang dilibatkan berasal dari kampung sekitar Gedung Sate yaitu Sekeloa, Dago, Coblong dan Cibarengkok. Keempat kampung ini masih ada hingga kini dan saya termasuk warga yang lahir dan tumbuh di salah satu kampung ini.

Gedung Sate memiliki luas 27.990.859 m2. Gedung Sate memiliki gaya arsitektur Italia di masa Renaissance dengan menara bertingkat menyerupai pagoda yang memadukan gaya timur dan barat. Desain jendela Gedung Sate menerapkan model Moor Spanyol dan atap gedung yang terinspirasi dari bentuk pura di Bali. Tak hanya itu, dinding Gedung Sate dihiasi relief yang menggambarkan sejarah tentang perjalanan panjang tentang masyarakat Jawa Barat dan perkembangan Gedung Sate. 

Uniknya Gedung Sate sengaja dibangun menghadap Gunung Tangkuban Perahu di sebelah utara Bandung yang membuat Gedung Sate berada pada garis lurus dengan Lapangan Gasibu dan Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat yang tepat menghadap Tangkuban Parahu. Ini berlawanan dengan Gedung Pakuan (rumah dinas Gubernur Jawa Barat yang menghadap Gunung Malabar di selatan). Bila ditarik garis lurus, kedua gedung ini berada mengikuti sumbu poros utara-selatan.

Saat kecil dulu, saya dan teman-teman sering bermain di area Gedung Sate Bandung termasuk berjalan di sepanjang jendela (sebetulnya termasuk tinggi untuk ukuran anak kecil. Bentuk Gedung Sate dibangun dengan pola simetris dan lengkungan yang diulang. Pengulangan ini menciptakan visual bangunan yang sangat unik. Inilah yang membuat kami tertarik untuk menaikinya meski berbahaya dan mengganggu pekerja yang sedang beraktivitas di dalam ruangan.

Dari struktur bangunannya di masa kini, teman Menong bisa melihat kokohnya bangunan Gedung Sate. Material yang digunakan tentunya berkualitas tinggi. Dinding gedung sate terbuat dari kepingan batu berukuran besar yang dipotong menjadi ukuran 1 x 2 m. Batuan ini diambil dari kawasan perbukitan batu di daerah Arcamanik dan Gunung Manglayang, bagian Bandung Timur.

Gedung Sate memiliki 4 lantai termasuk basement dan ruang pada puncak gedung. Di bagian puncak atao terdapat ornamen menyerupai 6 tusuk sate atau yang biasa disebut turret yang melambangkan 6 juta gulden, biaya yang dihabiskan untuk membangun Gedung Sate. Tak banyak orang tahu, selain tusukan sate, di ruang puncak ini terdapat alarm yang akan menyala secara otomatis saat ada serangan musuh. Jangkauan alarm bisa mencapai luar kota Bandung namun kini hanya dinyalakan setahun sekali selama 10 menit dengan radius seputar gedung saja.


Perjalanan Sejarah

Saat rampung gedung ini digunakan oleh Belanda sebagai kantor Department Verkeer en Waterstaat  yaitu Departemen Pekerjaan Umum dan Pengairan dan Hoofdbureau Post Telegraaf en Telefoondienst yaitu Kantor Pusat Pos, Telegraf, dan Telepon.

Di tahun 1945 terjadi peristiwa pengepungan Gedung Sate oleh Gurkha (tentara bayaran dari Nepal yang menjadi pasukan Inggris dan Belanda) dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration, pemerintah semi-militer bentukan Belanda). 

Tepat di tanggal 3 Desmeber 1945 terjadi pertempuran sengit karena pemuda Bandung yang dipelopori Angkatan Muda Pekerjaan Umum melawan dan menewaskan 7 orang pemuda. Empat jenazah (kerangka) diantaranya ditemukan beberapa bulan kemudian di halaman belakang Gedung Sate sedangkan 3 lainnya tidak ditemukan. Sebagai bentuk penghormatan dibangunlah tugu peringatan yang dapat teman Menong lihat di halaman Gedung Sate Bandung.

Related Posts

Post a Comment