Salah satu pengalaman yang menarik saat berkunjung ke Palembang, Sumatera Selatan adalah belajar sejarah di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang.
Palembang
Dengan niat bersilaturahim dengan salah seorang teman lama saat kuliah dulu, saya dan Zauji akhirnya memilih Palembang sebagai tempat untuk menghabiskan akhir tahun. Pertimbangan lain adalah Zauji juga ingin menjajal perjalanan darat alias menggunakan travel dari Bandung - Palembang atau Palembang Bandung.
Awalnya saya memang ragu karena perjalanan darat membutuhkan waktu lebih lama daripada menggunakan pesawat terbang. Akhirnya kami memutuskan untuk memulai perjalanan menggunakan pesawat terbang dan pulang ke Bandung menggunakan travel.
Sejak dari Bandung, Zauji sudah merancang kemana saja kami akan melakukan 'pesiar dalam kota'. Kota Palembang tidak hanya dikenal dengan pempeknya namun juga banyak sekali destinasi yang wajib dikunjungi. Sebetulnya ini adalah kunjungan kedua bagi saya. Di tahun 2007, saya pernah main ke Bumi Sriwijaya ini. Kali ini saya bersemangat mengajak Zauji melihat dari dekat Jembatan Ampera, jembatan berwarna merah kebanggaan Kota Palembang yang berdiri di atas Sungai Musi dan menghubungkan daerah Seberang Ulu dan seberang Ilir.
Setibanya di Palembang, kami terpesona dengan LRT Palembang atau Light Railway Transportation yang melintasi Kota Palembang. Dengan LRT kami bisa dengan mudah sampai ke Jembatan Ampera. Dan ternyata masih di area Jembatan Ampera, kami 'menemukan' Museum Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) yang terletak di tepi Sungai Musi.
Sejarah Museum Sultan Mahmud Badaruddin II
Dari hotel, kami naik LRT dan turun di halte Jembatan Ampera. Sejenak saya kilas balik saat terakhir berkunjung di Jembatan Ampera ini. Saya dan dua orang teman nekad menaiki perahu tradisional yang banyak disewakan di tepian Sungai Musi. Karena kami tiba di malam hari, jadilah kami menyusuri sungai hanya bermodal kerlipan lampu dari jembatan, tongkang batu bara yang berseliweran di sepanjang sungai dan lampu kecil di perahu.
Di tengah sungai, tiba-tiba perahu berhenti karena baling-baling perahu tersangkut ganggang. Jadilah kami terombang-ambing di tengah sungai sambil menunggu perahu menyala kembali. Saat tiba di tepian sungai, barulah saya menyadari waktu menunjukan jam 01.00 WIB.
Kali ini saya dan Zauji tak menaiki perahu dan melipir ke seberang jalan dimana terdapat gedung museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Gedung ini awalnya adalah merupakan Kediaman Resmi Residen Belanda pada masa kolonial. Dari bangunan, teman Menong dapat menebak gaya arsitektur yang diadopsi yaitu gaya arsitektur Indis, yaitu perpaduan antara gaya kolonial Eropa dengan unsur tropis Nusantara.
Bangunan ini didirikan sekitar tahun 1823 oleh arsitek asal Belanda di lokasi ini berdiri yang asalnya berdiri Keraton Kuto Kecik atau Keraton Kuto Lamo, pusat pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam. Saat penjajah Belanda menaklukkan Palembang pada awal abad ke-19, keraton ini dihancurkan dan diganti dengan bangunan yang kelak menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Bangunan museum merupakan perpaduan gaya arsitektur kolonial Belanda dengan sentuhan lokal. Bangunan dua lantai ini memiliki ciri khas atap tinggi, jendela besar, dan teras luas yang sesuai dengan iklim tropis. Dari bagian depan museum, pengunjung bisa langsung melihat panorama Sungai Musi dengan latar belakang Jembatan Ampera yang ikonik.
Letaknya yang strategis membuat museum ini mudah dijangkau, sekaligus memberi pengalaman sejarah yang berpadu dengan keindahan alam Palembang.
Sultan Mahmud Badaruddin II
Nama museum diambil dari nama Sultan Mahmud Badaruddin II (1767–1852), salah satu sultan Kesultanan Palembang Darussalam yang memerintah pada periode 1803–1821. Beliau dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan berani menentang dominasi Belanda, terutama dalam hal monopoli perdagangan timah dan lada.
Perlawanan yang dipimpinnya membuat Belanda kesulitan menguasai wilayah Palembang. Namun, pada akhirnya kesultanan berhasil ditaklukkan, dan Sultan Mahmud Badaruddin II dibuang ke Ternate hingga akhir hayatnya. Namanya diabadikan pula sebagai nama Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang.
Tiket dan Koleksi Museum
Museum dibuka setiap hari, mulai pukul 08.00 hingga 16.00 WIB. Harga Tiket Masuk
Harga tiket masuk sangat terjangkau, yaitu:
Dewasa: Rp5.000 – Rp10.000
Pelajar/Mahasiswa: Rp2.000 – Rp5.000 (biasanya dengan menunjukkan kartu pelajar/mahasiswa)
Turis Mancanegara: sekitar Rp10.000 – Rp20.000
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II memiliki sekitar 3.800 koleksi, sebagian besar merupakan peninggalan sejarah dan budaya Palembang. Beberapa koleksi yang menarik di antaranya:
Arca dan Peninggalan Sriwijaya
Museum ini menyimpan arca-arca peninggalan Kerajaan Sriwijaya, kerajaan maritim besar yang berpusat di Palembang pada abad ke-7 hingga 13. Koleksi berupa arca Buddha, prasasti, serta replika prasasti Kedukan Bukit memberikan gambaran kejayaan Sriwijaya di masa lalu.
Koleksi Kesultanan Palembang Darussalam
Teman Menong bisa melihat berbagai benda peninggalan kesultanan, mulai dari naskah kuno Al-Qur’an tulisan tangan, alat musik tradisional, hingga senjata pusaka. Ada juga replika singgasana sultan yang menambah kesan megah.
Kain Songket Palembang
Salah satu daya tarik museum adalah koleksi kain songket khas Palembang. Kain ini dikenal dengan keindahan motifnya yang mewah, biasanya dibuat dengan benang emas atau perak.
Mata Uang Kuno
Museum juga menyimpan berbagai mata uang kuno, baik yang digunakan pada masa Sriwijaya, Kesultanan Palembang, maupun era kolonial.
Foto dan Dokumentasi Masa Penjajahan\
Koleksi foto-foto lama Palembang tempo dulu membuat pengunjung dapat membandingkan wajah kota di masa lalu dengan Palembang modern saat ini.
Di area museum tersedia fasilitas seperti ruang pameran yang luas, toilet, area parkir, hingga pemandu wisata (guide) yang bisa membantu menjelaskan sejarah dan koleksi museum. Karena lokasinya berada di pusat kota, pengunjung juga mudah menemukan tempat makan, penginapan, hingga akses transportasi umum.

Post a Comment
Post a Comment